Trotoar Internasional Plaza siang itu sangat ramai dan panas,orang-orang berlalu lalang didepanku. Pandanganku tertuju pada hal menarik yang sedang dikerumuni orang. Aku melihat seorang pengamen buta yang dibimbing oleh seorang wanita berusia 30 tahunan yang juga buta. Sungguh aku terkesan melihat kisah cinta sederhana sepasang suami istri buta itu, dengan pelan mereka berjalan dan agak tertatih, dengan lembut sang istri menuntun sang pengamen. Ketika sang suami menyanyi dengan sabarnya sang istri menungguinya dan sesekali meraba – raba dan mencari letak wajah suaminya dan mengelap peluh yang bercucuran di dahi suaminya, romantis pikirku. Cinta seperti apa yang menyatukan mereka, cinta seperti apa yang sudah mempertemukan mereka, dan kehidupan seperti apa pula yang telah menempa cinta mereka. Disaat sekarang orang menilai cinta sekedar dengan kesempurnaan fisik saja.
Aku teringat kisah seorang akhwat dikampusku yang tertolak proses pernikahannya hanya karena ia tak cantik, sungguh menyebalkan pikirku. Seseorang menilainya hanya dari penampilan luarnya saja. Tak seorangpun dari kami menganggap ada cacat pada dirinya, seorang yang sholehah dan taat beribadah, aktifis dakwah pula, lemah lembut dan keibuan. ”Afwan ukhti...ane ga bisa melanjutkan proses ini, sepertinya anti bukan tipe ane” kata seorang ikhwan pada suatu waktu.What????#@##$.....Ya Akhi sejak kapan para ikhwan menilai seorang wanita dari tampilan luarnya. Tak salah seorang ikhwan memilih wanita yang menyejukkan pandangan, tapi apa harus cantik dan bagaimana defensi cantik itu???
Bagaimana dengan pengamen buta itu, cinta seperti apa yang ia punya? bahkan ia tak mampu melihat istrinya dengan matanya. Cinta itu bukan mencintai orang yang sempurna, tapi bagaimana mencintai orang yang tak sempurna dengan sempurna....(pojok kamar, februari '09)
No comments:
Post a Comment